Minggu, 22 Agustus 2010

Faktor-faktor Kesuksesan


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (46)


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. 8: 45-46)

Inilah faktor-faktor kemenangan yang hakiki: tsabat (teguh pendirian) saat berhadapan dengan musuh, berhubungan dengan Allah melalui dzikir, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, menghindari perselisihan dan perpecahan, sabar menghadapi beban berat perang, serta menghindari sikap angkuh, riya’, dan sewenang-wenang.

Tsabat (teguh) adalah awal perjalanan menuju kemenangan. Kelompok yang menang adalah yang paling teguh. Tahukah orang-orang mukmin bahwa musuh mereka menghadapi kesulitan yang lebih berat daripada apa yang mereka hadapi, dan bahwa merasakan sakit seperti mereka, tetapi musuh mereka tidak mengharapkan sesuatu dari Allah seperti yang orang-orang mukmin harapkan? Jadi, musuh Islam tidak punya motivasi harapan kepada Allah yang bisa meneguhkan pendirian dan hati mereka! Seandainya orang-orang mukmin bisa teguh barang sebentar, maka musuh mereka pasti patah semangat lalu kalah. Apa yang bisa menggoyahkan kaki orang-orang mukmin saat mereka yakin akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: syahid atau kemenangan? Sementara itu, musuh mereka hanya menginginkan kehidupan dunia. Mereka sangat tamak terhadap kehidupan dunia, tidak memiliki harapan terhadap kehidupan sesudahnya. Kehidupan mereka hanyalah di dunia.

Banyak berdzikir kepada Allah saat berhadapan dengan musuh merupakan arahan abadi bagi setiap mukmin. Ia juga merupakan ajaran tetap yang mengakar di hati kelompok mukmin. Al-Qur’an telah menceritakannya dalam sejarah umat Muslim dalam parade iman sepanjang sejarah.

Diantara kisah yang dituturkan al-Qur’an adalah ucapan para penyihir Fira’un ketika hati mereka menyerah kepada iman secara tiba-tiba. Para penyihir itu berkata:

“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.’ (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (al-A’raf : 26)

Begitu pula kisah orang-orang mukmin minoritas dari kalangan Bani Israil saat mereka menghadapi Jalut dan pasukannya:

“Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tenteranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir’” (al-Baqarah: 250)

Begitu pula kisah tentang kelompok-kelompok mukmin sepanjang sejarah saat menghadapi perang:

“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan alah, dan tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Ali Imran: 146-147).

Ajaran ini telah mengakar di dalam jiwa jama‘ah muslim, sehingga inilah yang menjadi watak mereka saat menghadapi musuh. Sesudah itu, Allah mengisahkan kelompok yang mendapatkan luka-luka dalam perang Uhud. Ketika mereka diajak berperang pada hari kedua, maka ajaran ini hadir dalam jiwa mereka:

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baiknya Pelindung’” (Ali Imran (3): 173)

Dzikir kepada Allah saat berhadapan dengan musuh memainkan banyak fungsi. Ia menghubungkan umat Islam dengan kekuatan yang tidak terkalahkan dan melahirkan keyakinan kepada Allah yang menolong para kekasih-Nya. Pada saat yang sama, dzikir dapat menghadirkan hakikat perang, motivasi, dan tujuannya ke dalam hati, yaitu perang demi Allah, untuk menetapkan uluhiyah-Nya di muka bumi, dan mengusir para thaghut yang mencuri uluhiyah ini. Jadi, perang tersebut bertujuan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, bukan untuk kejayaan pribadi atau bangsa. Selain itu, perintah tersebut menegaskan kewajiban dzikir kepada Allah di saat-saat paling kritis dan situasi paling sulit. Semua itu merupakan inspirasi yang memiliki arti penting dalam perang. Semua inspirasi tersebut dapat diwujudkan oleh ajaran Robbani ini.

Sedangkan tujuan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah agar orang-orang mukmin turun ke kancah perang dalam keadaan berserah diri kepada Allah, sehingga berbagai penyebab perselisihan dapat dicegah dengan ketaatan tersebut:

“...Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu...” (46)

Manusia tidak saling berbantah kecuali ketika kepemimpinan dan komando terbagi-bagi, dan pada saat hawa nafsu menguasai pendapat dan pikiran. Apabila manusia berserah diri kepada Allah dan patuh kepada Rasul-Nya, maka penyebab pertama dan utama perselisihan dapat dihilangkan—meskipun sudut pandang terhadap masalah yang dihadapi berbeda-beda. Karena hal yang memicu perselisihan bukan perbedaan sudut pandang, melainkan hawa nafsu yang mengagitasi tiap orang untuk memaksakan sudut pandangnya meskipun ia mengetahui mana yang benar!

Hal yang menyebabkan percekcokan adalah meletakkan ego dan kebenaran dalam satu timbangan, lalu memenangkan ego di atas kebenaran! Dari sini Allah memberi ajaran untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam perang. Ini adalah bagian dari proses kontrol yang harus dilakukan dalam perang. Itulah ketaatan terhadap pimpinan tertinggi di dalam perang. Dari sini muncul perintah untuk menaati panglima yang memimpin perang. Ketaatan tersebut adalah ketaatan dari hati yang mendalam, bukan sebatas ketaatan struktural di tengah pasukan yang tidak berjihad karena Allah, dimana loyalitas kepada pemimpin tidak didasarkan loyalitas kepada Allah sama sekali. Perbedaan antara keduanya sangat jauh.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (110)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ”(Ali Imran / 3 : 110)

Di dalam al-Qur’an hakikat amar ma’ruf dan nahy munkar ditegaskan di banyak tempat, kami akan membahasnya pada tempatnya nanti. Demikian pula, di dalam Sunnah terdapat banyak perintah dan arahan Nabi saw. Berikut ini kami menukil sebagiannya:

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Iika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)

Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Ketika Bani Israil melakukan berbagai maksiat, maka para ahli agama melarang mereka tetapi mereka tidak mau berhenti. Kemudian ahli agama itu duduk bersama mereka, saling bersandar dengan mereka, dan minum bersama mereka. Kemudian Allah mempertentangkan hati sebagian mereka dengan sebagian yang lain, dan melaknati mereka melalui lisan Dawud, Sulaiman dan Isa bin Maryam.” Kemudian Nabi saw duduk—sebelumnya Beliau bersandar—seraya bersabda: “Demi Dzat yang menguasai diriku, janganlah kalian diam hingga kalian menarik mereka kepada kebenaran dengan kuat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai diriku, kamu harus memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, atau kalau tidak maka Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi)

Dari Aras bin Umairah al-Kindi ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila dosa dilakukan di muka bumi maka orang yang menyaksikannya lalu menolaknya sama seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan barangsiapa yang tidak menyaksikannya tetapi ridha terhadapnya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya.” (HR Abu Dawud)

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di antara jihad yang terbesar adalah kalimat keadilan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pemimpin syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang datang kepada penguasa yang sewenang-wenang lalu memerintahkan dan melarangnya, kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR Hakim dan adh-Dhiya’ dari Jabir ra)

Dan masih banyak lagi hadist-hadist yang lain. Semuanya menegaskan orisinalitas karakter tersebut dalam masyarakat Muslim, dan sekaligus urgensinya bagi mereka. Hadist-hadist ini memuat materi arahan dan dan tarbiyyah yang sistematis dan padat. Arahan-arahan Nabi saw ini, disamping nash-nash al-Qur’an, merupakan bekal yang kita lupakan nilai dan hakikatnya.

Kita kembali kepada bagian lain dari ayat pertama di dalam penggal ini:

“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(110)

Ini merupakan motivasi kepada Ahli Kitab untuk beriman, karena iman ini lebih baik bagi mereka. Lebih baik bagi mereka di dunia ini, karena dengan iman ini mereka akan terhindar dari perpecahan dan pembusukan yang menjangkiti konsepsi-konsepsi ideologi yang mereka anut selama ini. Ia juga menghalangi mereka untuk penguatan identitas, karena konsepsi-konsepsi mereka tidak mampu menjadi sistem sosial bagi kehidupan mereka sehingga tatanan-tatanan sosial mereka berdiri tanpa fondasi, timpang atau mengawang di udara sebagaimana layaknya setiap sistem sosial yang tidak berdiri di atas ideologi yang komprehensif dan di atas tafsir yang utuh tentang alam wujud, tujuan eksistensi manusia dan kedudukan manusia di alam semesta ini. Iman juga lebih baik bagi mereka di akhirat, karena ia menghindarkan mereka dari nasib buruk yang telah menanti orang-orang yang tidak beriman.

Ayat ini juga menjelaskan kondisi mereka, tanpa mengabaikan hak orang-orang shalih diantara mereka:
“Diatara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (110)

Sekelompok Ahli Kitab telah beriman dengan keimanan yang baik, di antara mereka adalah Abdullah bin Salam, Asad bin Ubaid, Tsa’labah bi Syu’bah dan Ka’ab bin Malik. Mengenai mereka itulah ayat ini berbicara secara umum—dan secara rinci di dalam ayat berikutnya, sedangkan kebanyakan mereka menyimpang dari agama Allah, ketika mereka tidak mematuhi perjanjian Allah dengan para Nabi: “Hendaknya masing-masing mereka beriman kepada saudaranya yang datang sesudahnya dan membelanya”. Mereka menyimpang dari agama Allah, enggan menerima kehendak Allah yang mengutus Rasul terakhir bukan dari kalangan mereka, dan enggan mengikuti Rasul tersebut dan menerapkan syari’at terakhir dari sisi Allah untuk semua manusia.

Karena sebagian kaum Muslimin masih memiliki berbagai hubungan dengan orang-orang Yahudi di Madinah, dan karena orang-orang Yahudi hingga saat ini masih memiliki kekuatan yang nyata, baik militer ataupun ekonomi, sehingga sebagian kaum Muslimin masih memperhitungkannya, maka al-Qur’an menumbuhkan keyakinan di dalam jiwa kaum Muslimin bahwa urusan orang-orang fasiq itu kecil dan bahwa hakikat mereka lemah karena kekafiran, dosa dan kemaksiatan mereka, karena perpecahan mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok, dan karena kehinaan serta kerendahan yang telah ditetapkan Allah atas mereka.